KUTAI BARAT – Tak banyak yang percaya jika Kalimantan masih menyimpan badak, satwa bercula yang sudah lama dikira punah di pulau ini. Hingga pada akhir 2015, kamera trap merekam sosok mengejutkan, satu betina yang kemudian dinamai Najaq.
Penemuan itu bukan hanya membuka mata dunia, tetapi juga menjadi titik balik sejarah konservasi di Indonesia. Sayang, takdir berkata lain. Najaq yang ditangkap untuk perawatan luka jerat justru tak bertahan lama. Ia mati pada April 2016 akibat infeksi, meninggalkan luka mendalam sekaligus peringatan betapa gentingnya masa depan badak Kalimantan.
Tragedi Najaq tak berdiri sendiri. Kisah getir Iman, badak Kalimantan terakhir di Malaysia, yang mati pada 2019 setelah lama berjuang melawan penyakit menjadi pelengkap kisah itu.
Sejak saat itu, harapan pelestarian spesies langka ini sepenuhnya bertumpu pada Indonesia, tepatnya di Kalimantan Timur.
Meski demikian, upaya penyelamatan tidak berhenti. Harapan baru muncul lewat Pahu, satu-satunya badak betina yang kini menghuni Suaka Badak Kelian (SBK) di Kutai Barat. Pahu dipindahkan dari habitat aslinya pada 28 November 2018, dalam operasi konservasi ex-situ untuk memastikan keselamatan dan kesehatan satwa langka ini.
“Suaka Badak Kelian memang disiapkan sebagai tempat perlindungan dan pengembangbiakan. Meski saat ini belum ada pejantan, teknologi reproduksi berbantu sudah disiapkan untuk memperbesar peluang lahirnya badak baru,” kata Kurnia Oktavia Khairani, Direktur Aliansi Lestari Rimba Terpadu (ALeRT), mitra Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim.
Selain Pahu, kini perhatian tertuju pada Pari, satu badak betina yang masih bertahan di hutan alam Mahakam Ulu. Ditemukan melalui survei lapangan sejak beberapa tahun lalu, Pari hidup sendirian di tengah ancaman deforestasi dan aktivitas ilegal yang terus menggerus habitatnya.
Menurut Kurnia, kondisi itu membuat Pari termasuk kategori badak doom yakni badak yang hidup terisolasi dan terancam punah jika tidak segera diselamatkan.
“Kalau Pari tidak kita translokasikan, maka keberadaannya akan sia-sia. Tahun ini kami bersama BKSDA cukup optimis Pari bisa dipindahkan ke Suaka Badak Kelian, seperti Pahu sebelumnya,” ujarnya.
Rencana pemindahan Pari ke SBK kini tengah disiapkan. Fasilitas tambahan berupa boma atau kandang karantina sementara dan satu paddock baru seluas 20 hektare akan dibangun. Pari akan menjalani karantina sekitar tiga bulan sebelum bergabung dengan Pahu.
“Kita harus memastikan proses translokasi berjalan aman, dari habitatnya di Mahulu sampai ke SBK. Itu sebabnya kami melibatkan berbagai pihak, dari pemerintah daerah, masyarakat, hingga pakar internasional,” tambah Kurnia.
Optimisme dari BKSDA

Kepala BKSDA Kaltim, Ari Wibawanto, menegaskan pentingnya penyelamatan dua individu badak ini. “Indonesia, khususnya Kalimantan Timur, saat ini hanya memiliki dua individu badak Kalimantan: Pahu dan Pari. Keduanya menjadi prioritas utama,” katanya.
Ia menambahkan, selain penyelamatan, BKSDA juga menyiapkan langkah pencarian populasi lain. “Dalam tahun 2025, kita alokasikan kegiatan eksplorasi untuk mencari badak-badak Kalimantan di kantong baru, salah satunya di Tabang, Kutai Kartanegara. Tapi saat ini kita fokus pada Pahu dan Pari dulu,” ujarnya.
Sejak kematian Iman, badak Kalimantan terakhir di Malaysia pada 2019, harapan pelestarian spesies ini kini sepenuhnya bertumpu di Indonesia. Kalimantan Timur menjadi satu-satunya rumah terakhir badak bercula dua tersebut.
Kehadiran Pahu di SBK, serta rencana penyelamatan Pari, membuka jalan baru bagi upaya konservasi. Dengan teknologi reproduksi berbantu dan dukungan berbagai pihak, peluang untuk memperbanyak populasi badak Kalimantan kembali terbuka.
“Pelestarian badak adalah pekerjaan besar yang hanya bisa berhasil lewat kerja kolektif. Kita perlu optimis, karena tanpa aksi nyata, badak Kalimantan bisa benar-benar hilang dari bumi,” pungkas Ari.