Bagi sebagian masyarakat Dayak Krayan di pedalaman Kalimantan Utara, tepatnya yang tinggal di sekitar kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM), bunga raksasa berwarna merah tua itu dulu tidak pernah dianggap istimewa. Dalam cerita yang diwariskan turun-temurun, ketika pemburu pulang dari hutan dan menemukan bunga besar itu, mereka akan memotongnya untuk dijadikan pakan anjing. Tidak ada larangan, tidak ada makna sakral, dan belum ada pengetahuan bahwa bunga tersebut merupakan salah satu flora paling langka di dunia.
Pandangan itu berubah total seiring meningkatnya pengetahuan konservasi. Masyarakat baru menyadari bahwa bunga tersebut adalah Rafflesia pricei, spesies langka yang termasuk tumbuhan dilindungi dan menjadi ikon biologi raksasa Borneo. Dari sesuatu yang dulu cuma pakan hewan dan dibiarkan begitu saja, kini warga menjaga setiap kuntum yang muncul di hutan Krayan. Bahkan replika bunga itu telah masuk ke panggung budaya, dipakai sebagai properti tari Dayak Lundayeh, tanda bahwa penghargaan terhadap alam telah menyatu dengan identitas.
“Menurut cerita masyarakat, sebelum mengetahui bahwa Rafflesia merupakan tumbuhan langka dan dilindungi, masyarakat memanfaatkan bunga Rafflesia untuk pakan anjing ketika di dalam hutan,” kata Kepala SPTN Wilayah I Balai TNKM, Hery Gunawan, Senin (24/11/2025).
Kini warga membentuk Tim Monitoring Rafflesia di Resor Krayan, aktif menjaga habitat, menjadi pemandu wisata, dan terlibat dalam pendataan perkembangan bunga. Upaya budaya pun ikut bergerak dan penggunaan replika Rafflesia dalam tarian menjadi simbol pelestarian alam melalui seni.
Perubahan cara pandang masyarakat berlangsung seiring dengan kesadaran baru bahwa kawasan ini memiliki keistimewaan ekologis. Di tempat lain, Rafflesia menjadi legenda kelangkaan. Namun di Taman Nasional Kayan Mentarang, Rafflesia pricei justru sering ditemukan, bahkan dekat permukiman. Desa Pa’ Kidang di Kecamatan Krayan Barat menjadi pusat perjumpaan unik itu.
Di desa tersebut, destinasi Buduk Udan, sebuah puncak berketinggian 1.400 mdpl, menjadi ikon wisata lokal. Pengunjung yang trekking sekitar lima kilometer menuju puncak biasanya melewati rute pulang yang langsung bersinggungan dengan habitat alami Rafflesia pricei.
Di satu lokasi, bunga ini bahkan bisa mekar dalam jumlah banyak. Kedekatan habitat dengan desa memungkinkan warga memantau kemunculannya setiap saat dan memberi kabar kepada wisatawan ketika bunga memasuki fase antesis.
Meski dekat dengan permukiman, seluruh habitat Rafflesia pricei berada di dalam kawasan TNKM. Hingga kini belum ada catatan resmi bunga tersebut mekar di luar kawasan taman nasional.
Rafflesia pricei Tetap Misterius, Tapi Kini Terkelola

Sifat biologis Rafflesia tetap membuatnya penuh teka-teki. Bunga ini merupakan holoparasit yang sepenuhnya bergantung pada inang Tetrastigma, dan rentang mekarnya hanya sekitar lima hingga tujuh hari.
“Mekarnya Rafflesia pricei tidak dapat diprediksi seperti tumbuhan pada umumnya,” ujar Kepala Balai TNKM, Seno Pramudito.
Dari data monitoring, mekarnya paling sering terjadi pada bulan Agustus, namun pola tersebut belum bisa dijadikan kepastian sehingga pemantauan berkala tetap wajib dilakukan.
Lokasi kemunculan bunga saat ini tercatat di:
SPTN Wilayah I Long Bawan — Desa Long Api dan kawasan Tang Paye (termasuk Desa Pa’ Kidang)
SPTN Wilayah II Long Alango — Desa Rian Tubu
SPTN Wilayah III Long Ampung — Desa Paliran
Monitoring rutin paling sering berlangsung di wilayah Long Bawan. Di Pa’ Kidang, kelompok wisata Pa’ Kidang Makmur mendapat dukungan pelatihan kepemanduan, pembangunan shelter, serta papan informasi dan interpretasi dari Balai TNKM. Seno berharap destinasi Buduk Udan berkembang tanpa kehilangan nilai konservasi.
“Kami berharap destinasi wisata Buduk Udan dapat dikembangkan dan dilestarikan sehingga meningkatkan pendapatan masyarakat. Kami juga mengharapkan dukungan mitra dan pemerintah daerah,” ujarnya.
Indikator Ekologi yang Tidak Bisa Dipalsukan

Di Kalimantan, keberadaan Rafflesia pricei bukan hanya soal wisata atau kebanggaan budaya, tetapi juga barometer kesehatan hutan.
“Adanya Rafflesia pricei menandakan bahwa fungsi ekologis hutan TNKM masih terjaga dengan baik, karena Rafflesia merupakan tumbuhan yang sensitif terhadap gangguan,” tegas Hery Gunawan.
Di tengah tekanan deforestasi yang meluas di Borneo, TNKM menjadi benteng penyangga kehidupan. Perjalanan Rafflesia pricei, dari pakan anjing menjadi ikon budaya dan konservasi, menunjukkan bahwa pelestarian tidak selalu dimulai dari pengetahuan akademis. Kadang dimulai dari warga sendiri, dengan rasa ingin tahu, kebanggaan, dan hubungan emosional dengan hutan yang mereka warisi.
Kini, ketika bunga raksasa itu mekar, warga Krayan tidak lagi untuk pakan anjing. Mereka menjaga, memberi tahu dunia, dan mengajak orang datang untuk melihatnya, bukan sebagai keajaiban langka yang mustahil ditemukan, melainkan sebagai bagian dari rumah yang mereka rawat bersama.
