TENGGARONG – Kopi Liberika mengubah perjalanan Desa Prangat Baru, Kecamatan Marangkayu, dari kawasan transmigrasi biasa menjadi ikon kebangkitan ekonomi berbasis potensi lokal.
Desa yang dibuka pada 1989 itu dulu bergantung pada karet. Kopi belum pernah menjadi komoditas penting. Namun arah pembangunan berubah pada Agustus 2020 ketika Bupati Kutai Kartanegara berkunjung untuk menghadiri panen perdana kebun karet seluas 16 hektare. Di tengah hujan, sang bupati mencicipi secangkir kopi hasil kebun warga yang baru ditanam di lahan kecil sekitar dua hektare.
Aroma dan karakter rasa kopi itu meninggalkan kesan kuat. Setelah mengetahui bahwa kopi tersebut merupakan varietas Liberika, bupati langsung mengarahkan pembentukan kelompok tani agar budidayanya dapat dikembangkan secara lebih terstruktur.
“Pak Bupati menyampaikan agar membentuk kelompok supaya bisa dibina ke depannya. Sebulan kemudian kami undang PHKT datang untuk mencicipi kopi dan melihat langsung potensinya. Dari situlah kami resmi menjadi desa binaan selama lima tahun sejak 2020,” kenang Kepala Desa Prangat Baru, Fitrianti, Selasa (4/11/2025).
Arahan itu menjadi titik balik. Para petani karet mulai tertarik menanam kopi melalui sistem tumpang sari. Kopi Liberika yang adaptif terhadap tanah gambut dan dataran rendah terbukti cocok dengan kondisi lahan desa. Luasan kebun terus bertambah, hingga mencapai 35 hektare, dengan sekitar 20 hektare di antaranya kini produktif.
Proses pengembangan kopi juga diperkuat melalui pembinaan Pertamina Hulu Kalimantan Timur (PHKT). Dukungan teknis, sarana produksi, dan pelatihan pascapanen membuat hasil kopi semakin stabil. Program pembinaan ini turut mengantarkan PHKT meraih sejumlah penghargaan, antara lain Proper Gold Award pada 2021 dan 2023, serta Silver Award pada 2022 untuk keberhasilan membina Kampung Kopi Luwak Prangat Baru.
“Kopi ini istimewa, karena varietas Liberika sangat langka. Di Indonesia, hanya ada tiga titik penghasilnya,” ujar Fitrianti.
Pengalaman Fitrianti memperkenalkan kopi Prangat Baru ke berbagai daerah membuatnya semakin yakin akan potensinya. Saat mengikuti orientasi lapangan ke Desa Kutuh, Pantai Pandawa, Bali pada 2021, ia bertemu kepala desa setempat yang terkejut mendengar nilai jual kopi luwak liberika.
“Beliau bilang, PAD desanya 51 miliar per tahun, 90 persen dari penjualan kopi luwak. Satu seloki mereka jual ke wisatawan mancanegara Rp500 ribu. Jadi ketika saya bilang harga kopi kami Rp5 juta per kilo, beliau justru tertarik kerja sama. Dari situ kami makin yakin kopi ini bisa jadi jalan menuju kesejahteraan,” ungkap Fitrianti.
Semangat petani semakin tumbuh sepulang dari Bali. Pada Desember 2024, Menteri datang langsung meninjau potensi kopi liberika Prangat Baru. Pada bulan yang sama, Fitrianti diundang menjadi narasumber nasional kopi di Palu, Sulawesi Tengah, sebagai bentuk pengakuan bahwa kopi Prangat Baru mulai diakui secara nasional.
“Pulang dari sana lagi, teman-teman kelompok lebih semangat lagi. Kenapa? Karena setelah kenal dengan dewan kopi, dewan ekspor kopi, mereka antusias karena varietas ini memang langka,” katanya.
Jaringan pemasaran kini semakin luas. Kopi luwak liberika Prangat Baru telah dipasarkan di hotel-hotel seperti Mercure Ibis. Kopi ini juga menarik minat pembeli dari Italia, Spanyol, Jepang, Thailand, Korea, dan Cina yang datang langsung mencicipi dan membeli produk di lokasi.
Fitrianti berharap keberhasilan ini menjadi pijakan menuju tujuan yang lebih besar.
“Target kami ke depan, Desa Prangat Baru bisa menjadi Desa Mandiri. Kami ingin semua infrastruktur terpenuhi dan masyarakat sejahtera melalui kopi ini. Karena kopi bukan hanya soal rasa, tapi tentang perjuangan dan harapan warga desa,” pungkasnya.(adv)

