Potret Warga Desa di Sekitar Ibu Kota Nusantara dalam Menjaga Hutannya

KALTIM – Kawasan dataran rendah di hulu Sungai Mahakam merupakan surga ikan air tawar. Tak heran jika sejak dahulu kala, banyak permukiman warga yang berkembang di sepanjang aliran sungai.

Karena ikan melimpah, banyak warga yang berprofesi sebagai nelayan tangkap maupun nelayan budidaya. Perambahan hutan kini menjadi ancaman warga mengingat sumber perkembangbiakan ikan terus terkikis.

Tak mau kondisi itu terus terjadi, sejumlah desa di Kabupaten Kutai Kartanegara mengubah status kawasan hutan menjadi hutan desa. Cara warga desa yang tinggal di sekitar Ibu Kota Nusantara ini dianggap jitu untuk memastikan tidak ada hutan yang dirambah.

Salah satu contohnya adalah Desa Genting Tanah, Kecamatan Kembang Janggut, Kabupaten Kutai Kartanegara. Desa ini berhasil mengubah status hutan di sekitar desa menjadi hutan desa.

“Kita ajukan tahun 2018 lalu dan tahun 2020 SK Hutan Desa dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan keluar,” kata Anton Suparto, warga Desa Genting Tanah saat ditemui di rumahnya akhir Bulan Mei 2021 lalu.

Desa Genting Tanah berdiri di tepi Sungai Belayan, anak Sungai Mahakam. Kawasan ini merupakan dataran rendah yang dahulu kehidupannya sangat tergantung pada ekosistem sungai.

Meski saat ini sebagian warga sudah beralih profesi sebagai pekebun, namun aktivitas nelayan sungai masih terus dilakukan. Masa panen di kebun yang tidak sebentar membuat warga tetap mencari ikan untuk kehidupan sehari-hari.

“Untuk itu kami kemudian mengajukan untuk mengubah status hutan tersebut agar sumber penghidupan warga tetap terjaga dengan baik,” sebut Anton.

Anton kini dtunjuk sebagai Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD). Bersama beberapa rekan lainnya, Anton rutin melakukan patroli di sekitar hutan untuk memastikan tidak ada hutan yang dirambah atau dirusak.

Hutan Desa di Desa Genting Tanah ini Bernama Hutan Luah Tanjung. Pemberian nama sesuai dengan nama sungai kecil yang menjadi akses utama menuju hutan desa.

Untuk menuju hutan desa, kita harus menggunakan perahu menyusuri Sungai Belayan sekira 15 menit. Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri Sungai Luah Tanjung sekira 30 menit.

“Hutan kami ini adalah hutan rawa gambut. Kedalaman gambut bisa sampai 7 meter,” papar Anton.

Karena merupakan kawasan basah, hutan ini cukup terjaga dari ancaman kebakaran hutan. Meski kemarau, kawasan gambutnya tidak kering.

Hutan Desa Genting Tanah ini merupakan habitat asli Orangutan Kalimantan. Anton bercerita, saat beberapa kali berpatroli, dia sering menemukan orangutan bermain di atas pohon.

“Ciri orangutan liar itu selalu menghindari jika ada manusia,” sebutnya.

Anton bersama rekan lainnya sesame pengurus LPHD sedang meneliti daya serap karbon di hutan rawa gambut mereka. Sebab gambut merupakan penyerap karbon paling baik di bumi.

Anton Suparto bersikukuh, cara terbaik menyejahterakan nelayan di desanya adalah dengan menjaga dan merawat hutan. Perjuangan mereka selama dua tahun untuk mengubah status kawasan hutan kini berbuah manis.

“Kita sudah punya rencana untuk memetakan untuk membagi kawasan hutan. Ada untuk kawasan utama, kawasan penyangga, dan kawasan aktivitas warga,” sebutnya.

Dia memastikan, keberadaan hutan harus digunakan sebaik mungkin untuk kesejahteraan warga desa. Di tepi hutan menjadi kawasan aktivitas warga untuk berkebun maupun budidaya perikanan.

“Hutan yang terjaga dengan baik akan menjadi sumber pakan utama ikan. Sehingga nelayan punya hasil tangkap yang terus melimpah,” sebutnya.

Penetapan kawasan perkebunan juga tidak boleh berada terlalu jauh dari tepi sungai. Anton menyebut ada jarak maksimal pembukaan lahan dihitung dari bibir Sungai agar tidak semakin jauh merambah hutan.

“Membuka ladang di pinggir sungai dengan jarak 300 meter dari bibir sungai. Lebih dari itu tidak boleh,” sebutnya.

Bukan tanpa ancaman, hutan desa ini nyaris dirambah oleh perkebunan kelapa sawit. Beruntung warga sigap sehingga upaya itu bisa digagalkan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *