Hutan Kalimantan dan Ragam Misteri yang Sulit Diterima Akal

ANTON Suparto menarik tali di mesin perahu kecilnya dengan kencang. Suara deru mesin memecah keheningan Sungai Belayan, anak Sungai Mahakam.

Warga Desa Genting Tanah, Kecamatan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur itu mengajak kami melihat hutan rawa gambut. Tak berapa lama berselang, perahu kecil bermesin tempel memecah keheningan kawasan hutan hujan tropis dataran rendah itu.

Di depannya, sudah ada rekannya, Badri David, dengan perahu sejenis. Dua perahu kecil yang hanya bisa memuat tiga orang itu berjalan memecah ombak kecil sungai.

Sekitar 15 menit, perahu berbelok ke sungai yang lebih kecil. Lebarnya rata-rata hanya lima meter. Sungai tersebut bernama Sungai Luah Tanjung.

Anton dan Badri hendak membawa kami ke hutan rawa gambut yang kini sudah berstatus hutan desa. Perjalanan membutuhkan waktu sekira 45 menit untuk sampai ke hutan tersebut.

“Jangan berbicara aneh-aneh saat di hutan,” pesan Anton kepada rombongan yang dibawanya.

Tak ada pertanyaan lanjutan sebab rasa khawatir lebih dulu muncul. Pikiran soal pesan tersebut sesegara mungkin ditepis karena perahu sudah memasuki pertengahan kawasan hutan.

Setelah sampai di hutan, Anton dan Badri mengajak berkeliling melihat kondisi hutan. Mereka berdua memang bertugas menjaga hutan tersebut dari ancaman perambahan, hingga kebakaran lahan.

“Kedalaman gambut di sini bisa mencapai 6 meter. Jika tidak hati-hati berjalan, kita bisa saja terperosok,” kata Anton mengingatkan.

Suasana hutan rawa gambut sangat terasa. Warga desa menjaganya dengan baik. Apalagi kini Anton ditunjuk sebagai Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Desa Genting Tanah.

Tugas maha berat itu kini menjadi beban di pundaknya. Dia harus memastikan hutan desa digunakan sepenuhnya untuk kemakmuran desa.

“Untuk mensejahterakan masyarakat karena hutan menjadi sumber ikan, sumber perkembangbiakan ikan,” kata Anton.

Di hutan ini kita bisa menemukan beragam tanaman endemik Kaltim. Tak hanya itu, jika beruntung, kita bisa menyaksikan aktivitas orangutan di habitat aslinya.

Setelah puas berkeliling, Anton kemudian mengajak rombongan yang dibawanya kembali ke pusat desa. Perjalanan pulang menjadi lebih ekstrim karena hujan lebat.

“Khawatir ada pohon tumbang atau dahan yang patah dan bisa menimpa kita,” sebutnya.

Begitu tiba di titik awal keberangkatan, pertanyaan-pertanyaan soal larangan berbicara aneh di dalam hutan langsung diutarakan. Anton kemudian menyerahkan kepada rekannya, Badri, soal pantangan ketika masuk hutan di desa itu.

“Intinya kita dilarang berbicara yang macama-macam, misalnya merasa lebih jago, lebih hebat atau berbicara kasar lainnya. Karena setiap hutan ada penghuninya,” kata Pak Map, sapaan akrab Badri David.

Pak Map menyebut penghuni hutan yang dimaksud adalah penghuni gaib. Jika marah karena ucapan seseorang, penghuni gaib hutan tersebut bisa bikin tersesat dan tak tahu jalan pulang.

“Setiap hutan ada aturannya yang harus ditaati. Jangan berbicara kasar, jangan merusak hutan, jangan mengambil sesuatu secara berlebihan,” kata Pak Map.

Dia menceritakan, pernah ada warga yang tersesat karena mencoba menebang pohon di hutan tersebut. Beruntung warga tersebut membawa mesin pemotong pohon.

“Arah suara mesin itu jadi petunjuk warga lainnya untuk mengeluarkannya dari hutan,” kata Pak Map yang berprofesi sebagai pekebun kelapa sawit.

Kisah lainnya, suatu ketika desa ini kedatangan petugas kehutanan untuk membantu warga memetakan hutan desa. Pemetaan dilakukan dengan membuka akses di pinggir hutan.

Saat membuka akses itu, tentu dibutuhkan parang untuk menebas semak belukar. Saat asyik menebas, tiba-tiba parang terlepas dari gagangnya.

“Kita berusaha mencari parang itu namun tak kunjung ketemu,” kata Badri.

Seharusnya, parang yang terlepas dari gagangnya itu tidak jauh dari lokasi mereka. Apalagi tebasan tidak terlalu kuat sehingga hanya jatuh di sekitar mereka.

“Saya bilang ke petugas itu, penghuni di sini minta parangmu. Petugas kehutanan itu tak langsung menjawab dan hanya memberi kode, sudah tidak usah disebut,” kata Pak Map.

Petugas itu paham kode dari penghuni gaib sehingga meminta Pak Map untuk tidak disebut nyaring-nyaring. Mereka lalu meninggalkan hutan hanya dengan membawa gagang parang.

Agar tidak tersesat, Pak Map biasanya membawa cermin saat memasuki hutan. Tujuannya agar tidak diganggu oleh penghuni hutan tersebut.

“Aku selalu bawa cermin supaya tidak diganggu. Karena cermin memantulkan bentuk asli sehingga penghuni gaib tidak bisa menipu pandangan kita,” sambungnya.

Hutan Desa Genting Tanah ini berubah status menjadi hutan desa pada tahun 2020 lalu. Upaya perambahan sudah sering terjadi sejak lama. Warga desa kompak menjaga hutan mereka dari ancaman perambahan. Hingga kini, hutan tersebut terjaga dengan baik.

*Artikel ini telah diterbitkan di halaman SINDOnews.com pada Sabtu, 24 April 2021 – 05:00 WIB oleh Tsabita dengan judul “Misteri Hutan di Kutai Kartanegara, Bicara Sembarangan Bisa Tersesat dan Hilang. Penulisnya saat ini menjadi bagian dari Warta Etam.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *