Tenggarong – Desa Bangun Rejo terus melangkah maju memantapkan diri sebagai desa digital. Komitmen tersebut dibuktikan dengan peluncuran program Desa Ekosistem Keuangan Inklusif (EKI) pada Senin, 4 Agustus 2025. Tidak hanya menjadi lokasi percontohan (pilot project) program ini, Bangun Rejo juga menjadi tuan rumah Apel Gabungan Perangkat Desa dan BPD se-Kecamatan Tenggarong Seberang yang digelar di destinasi wisata lokal, Bukit Mahoni.
Peluncuran program dihadiri Bupati Kutai Kartanegara, dr. Aulia Rahman Basri, bersama Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kutai Kartanegara, Arianto. Keduanya mengapresiasi langkah inovatif yang diambil Desa Bangun Rejo.
Bupati Aulia Rahman Basri mengatakan, Ekosistem Keuangan Inklusif (EKI) adalah gerakan yang diinisiasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk meningkatkan literasi dan inklusi keuangan, khususnya di wilayah perdesaan.
“Melalui program EKI, kita ingin memberdayakan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Program ini mempermudah akses keuangan bagi warga, baik berupa tabungan maupun pembiayaan. Ini akan mendorong perkembangan pelaku usaha dan ekonomi agar lebih maju, mandiri, dan sejahtera,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala DPMD Kutai Kartanegara, Arianto, menilai EKI menjadi bagian penting dalam strategi percepatan transformasi digital di tingkat desa, khususnya dalam pengelolaan keuangan.
“Desa Bangun Rejo layak jadi contoh karena sudah siap secara struktur dan sumber daya. EKI mendorong transaksi keuangan non-tunai, melibatkan BUMDes, koperasi desa, dan pelaku ekonomi lokal,” jelasnya.
Program ini tak hanya fokus pada digitalisasi, tetapi juga pada peningkatan literasi keuangan masyarakat, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Arianto menegaskan, edukasi sejak dini menjadi fondasi keberhasilan EKI.
Kepala Desa Bangun Rejo, Yuyun Porwanti, menyebut manfaat program mulai dirasakan warga. Ia menyoroti pentingnya menumbuhkan kebiasaan menabung sejak usia dini, terutama melalui lembaga pendidikan anak seperti PAUD.
“Kami ingin anak-anak terbiasa menabung sejak kecil. Untuk kaum ibu, program ini menjadi pintu menuju akses pembiayaan yang aman, tanpa harus terjerat rentenir,” kata Yuyun.
Ia berharap kerja sama dengan mitra keuangan desa, seperti Tim Bangkal Timtara, dapat diperluas hingga ke lingkungan sekolah dan kelompok ibu-ibu binaan. Meski begitu, ia mengakui tantangan terbesar masih terletak pada mengubah pola pikir masyarakat terhadap layanan keuangan formal.
“Kami perlu pendekatan yang lebih manusiawi dan berkelanjutan agar masyarakat merasa nyaman menggunakan layanan keuangan resmi dan aman,” pungkasnya.(adv)