Di tengah isu deforestasi dan bencana alam akibat alih fungsi lahan, kabar menggemberikan justru datang dari salah satu kawasan yang disebut Hearth of Borneo, Hutan Lindung Wehea. Kamera jebak milik Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) menangkap satwa yang sudah sekian lama tak terlihat. Apa itu?
Saya jurnalis wartaetam.com. Hari itu, saya merasa sedang menuju sebuah cerita yang sulit saya bayangkan sebelumnya, cerita tentang satu temuan spesial di tengah ancaman deforestasi yang terus membayangi Kalimantan Timur.
Di tengah deretan kabar kehilangan tutupan hutan, sebuah kabar lain justru datang dari Desa Nehas Liah Bing, Kecamatan Muara Wahau. Kabar tentang lutung Kutai (Presbytis canicrus) yang terekam kamera jebak di sebuah lokasi bernama Sepan, sebuah tempat yang dipercaya menjadi sumber mineral bagi satwa liar.
Saya diundang YKAN untuk menyusuri Hutan Lindung Wehea, memastikan sendiri cerita itu. Perjalanan yang saya bayangkan akan biasa saja, ternyata berubah menjadi pengalaman yang luar biasa, menempatkan saya tepat di salah satu habitat paling penting bagi satwa yang sangat sedikit diketahui manusia.
Pemandu saya adalah M. Arif Rifqi, Spesialis Spesies Terancam Punah dari YKAN. Kami berjalan selama dua jam, menuruni jalur yang licin dan basah, menyibak semak, mengikuti alur sungai kecil yang sesekali bercabang.
Arif berjalan di depan, memperhatikan jejak, sesekali berhenti untuk memastikan kami tidak melewatkan tanda-tanda satwa. Udara lembap menggantung di antara pepohonan ulin dan meranti yang menjulang. Hutan Lindung Wehea terasa seperti ruang besar yang hidup, dan saya merasa seperti tamu kecil yang baru pertama kali diperkenalkan pada tuan rumah yang sebenarnya.
Ketika kami tiba di sebuah lembah kecil yang teduh, Arif menunjuk ke sebuah lokasi agak datar penuh bebatuan besar. “Ini sepan,” katanya.
Suaranya pelan seolah ia sedang berbicara di sebuah ruang sakral. Di titik inilah lutung Kutai terekam kamera jebak milik YKAN. Saat saya bertanya apa sebenarnya yang menjadikan temuan ini penting, Arif mulai bercerita.
“Salah satu satwa yang kita temukan di Sepan ini itu adalah lutung Kutai, atau Presbytis canicrus. Di dunia itu sebarannya hanya ada di tiga tempat, salah satunya di Hutan Wehea ini,” kata Arif.
“Kamera trap kita menjumpai cukup banyak deteksi di sini, dan sampai sejauh ini belum ada banyak pengetahuan tentang kehidupan primata ini, ekologinya, perilakunya seperti apa. Perjumpaan langsung selain deteksi di Sepan ini juga tidak banyak kita jumpai.”
Ia kemudian menambahkan sesuatu yang membuat saya terdiam beberapa detik.
“Dan sampai sekarang jenis ini masih belum termasuk jenis yang dilindungi, padahal sebarannya sempit dan kondisinya terancam,” katanya lirih.
Saya mencatat kata-katanya pelan-pelan. Saya belum pernah bertemu lutung Kutai, bahkan belum pernah melihatnya secara langsung. Tetapi dari cara Arif menyampaikan, saya bisa merasakan betapa pentingnya keberadaan sepan ini sebagai ruang hidup terakhir yang masih aman.
Sulitnya Mendata Populasi

Dari sepan, kami kembali ke jalur utama dan berjalan lagi menuju sebuah bangunan kayu besar di tengah hutan. Itulah pusat riset Hutan Lindung Wehea, tempat para peneliti, ranger, para penjaga adat yang disebut petkuq mehuey, serta petugas konservasi berkumpul.
Begitu tiba, saya merasakan suasana yang sangat berbeda. Sebuah hunian sederhana, tetapi dikelilingi oleh suara hutan yang benar-benar hidup. Di sinilah saya kembali berbincang dengan Arif, setelah ia beristirahat sejenak dari tracking.
Ia mulai menjelaskan bagaimana sebenarnya temuan lutung Kutai ini bukan sesuatu yang tiba-tiba.
“Penemuan pertama itu tahun 2012. Temuan ini sudah lama karena memang banyak peneliti di Wehea. Bukan temuan mereka juga, teman-teman di hutan Wehea sudah mendata, hanya tidak tahu bahwa jenis ini spesial,” ujarnya.
“Dulu ada peneliti yang namanya Sten Lotang, tapi datanya teman-teman ranger. Itu publikasi pertama tentang canicrus. Banyak publikasi soal itu tapi tidak berbasis temuan lapangan,” sambungnya.
Arif lalu menceritakan bagaimana lutung Kutai ditemukan di berbagai lokasi lain seperti pada 2019 di PT Gunung Gajah, kemudian pada 2023 di konsesi Karya Lestari. Tapi perjumpaan tetap sangat terbatas.
“Mendata populasi itu tidak mudah. Satwanya sensitif. Kita harus tahu sebarannya, harus tahu kelompoknya. Bagaimana tahu kelompoknya kalau tidak ada yang bisa ikuti. Jenis yang tidak banyak diketahui itu khawatirnya statusnya lebih terancam dari yang kita perkirakan,” katanya.
Ia juga membandingkan dengan primata lain yang lebih mudah diteliti. Bekantan, misalnya, bisa dihabituasi. Lutung Kutai tidak demikian.
Arif menutup ceritanya dengan satu pernyataan penting terkait keberadaan aktivitas hutan produksi yang sekarang namanya berubah menjadi Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH). Dahulu nama izin terkenal dengan sebutan HPH.
“Dengan adanya di Hutan Lindung Wehea yang sekarang dikelilingi perusahaan HPH, satwa ini punya landscape yang terjaga. Daerah sepan bagi perusahaan juga kawasan lindung, jadi relatif aman selama perusahaannya aktif mengelola. Kalau perusahaan tidak aktif, lain cerita,” kata Arif.
Saya memahami maksudnya. Keberadaan satwa ini sangat tergantung pada keberlanjutan pengelolaan lanskap yang rapuh ini.
Hutan yang Dijaga dengan Adat

Sebelum saya membahas narasumber kedua, saya ingin kembali ke momen pertama kami tiba di pusat riset Wehea. Suatu penyambutan yang tidak akan saya lupakan. Kami disambut dengan ritual adat Dayak Wehea yang dipimpin oleh Ledji Taq, sanga kepala adat.
Di hadapan sebuah bambu yang ujung bawahnya tertancap ke tanah, Ledji Taq menaruh sebutir telur di ujungnya. Seekor anak ayam disembelih, kepalanya dijepitkan di sisi telur itu. Suasananya hening. Semua orang menunduk, menyimak doa yang dipanjatkan dalam bahasa adat.
Ritual itu menjadi simbol pembukaan jalan, permohonan perlindungan agar kami selamat memasuki ruang hidup leluhur mereka. Setelah doa selesai, kami masing-masing diberi gelang benang sebagai tanda bahwa kami diterima di wilayah ini.
Saya merasakan sesuatu yang hangat. Sebuah bentuk penghormatan yang tidak diberikan kepada sembarang orang.
Sore itu, di beranda pusat riset yang menghadap rimbunnya pepohonan, saya berbincang dengan Edy Sudiono, Manajer Kemitraan Program Terestrial YKAN. Ia menjelaskan soal bagaimana hutan ini dikelola.
“Hutan lindung Wehea itu inisiatif awalnya belajar dari pengelolaan hutan lindung di mana-mana yang banyak konflik, banyak klaim, dan banyak illegal logging. Dari situ kami coba membangun model yang melibatkan masyarakat adat,” jelas Edy.
Terdengar tak mudah. Apalagi inisiatif menjaga hutan dengan pendekatan adat sudah berlangsung seperempat abad.
“Dan Wehea sekarang kondisinya cukup bagus tanpa aktivitas illegal. Ini sebenarnya jadi model bagi Indonesia,” sambungnya.
Edy bercerita bagaimana suku Dayak Wehea yang populasinya kecil, justru menjadi penjaga benteng terakhir bagi kawasan ini.
“Mereka membuat lokal untuk nasional dan dunia dengan mengelola hutan ini,” tegasnya.
Ia mengisyaratkan bahwa ke depan, ancaman tetap ada. Tetapi harapan juga tetap terbuka, selama masyarakat adat tetap dilibatkan dan terus diperkuat.
“Masyarakat adat itu benteng terakhir. Kita harus dampingi supaya tidak ada gangguan. Kalau kita masuk ke hutan ini, dingin banget rasanya, sungainya bening. Dan rasanya kita tidak mau pulang dari sini,” kata Edy diselingi senyum.
Saya menatap hutan yang mulai gelap perlahan. Pernyataan Edy terasa sangat tepat. Ada sesuatu yang membuat saya tidak ingin segera meninggalkan tempat ini. Mungkin karena rasa hormat. Mungkin karena kekhawatiran. Mungkin karena saya baru benar-benar menyadari betapa pentingnya menjaga hutan seperti ini tetap hidup.
Di sepan, rombongan lutung Kutai mungkin sedang melompat pelan di antara cabang-cabang pohon. Di pusat riset ini, para penjaga adat sedang memastikan seluruh lanskap tetap aman. Dan saya, jurnalis kecil yang kebetulan hadir hari itu, hanya bisa berharap bahwa cerita ini cukup lantang untuk membuat semakin banyak orang peduli.
Hutan ini bukan sekadar hamparan pepohonan. Baginya, masa depan satu spesies yang langka bertumpu. Dan bagi masyarakat adat Wehea, hutan ini adalah rumah yang tidak boleh hilang. (@awaljalil)
