Demi Satwa yang Genetiknya Sama dengan Manusia, Perusahaan HTI Ini Pertahankan Lebih dari Setengah Konsesinya Tetap Jadi Hutan

Di antara tajuk pohon di hutan kerangas di Kalimantan Tengah, satu individu orang utan melintas mencari makan. Tak ada yang luar biasa jika dilihat sekilas karena hanya aktivitas rutin satwa dilindungi itu.

Namun di balik pemandangan itu, tersembunyi fakta mencengangkan, 96 persen materi genetiknya sama dengan manusia. Di antara tiga aliran sungai, Sungai Muring, Sungai Mangkutup, dan Sungai Gawi, Kabupaten Kapuas, orang utan bertahan di antara pepohonan HTI.

“Tak ada spesies lain yang sedekat ini secara genetik dengan manusia, selain orang utan,” kata Yaya Rayadin, peneliti dari Universitas Mulawarman dan pendiri lembaga konservasi Ecositrop (Ecology and Conservation Center for Tropical Studies).

Dalam dunia biologi, fakta ini bukan sekadar angka, tapi pintu menuju kemungkinan besar dalam riset kesehatan, bioteknologi, hingga etika konservasi.

Orang utan tak hanya punya DNA serupa manusia. Cara hidup mereka pun mencerminkan kehidupan sosial yang kompleks. Satwa terancam punah ini juga hamil sembilan bulan, melahirkan satu anak, menyusui dua tahun, lalu mendidik anaknya hingga delapan tahun.

“Sepanjang hidup, satu induk hanya melahirkan sekitar lima anak. Bandingkan dengan babi hutan yang bisa belasan dalam setahun,” ujar Yaya.

“Itu sebabnya orangutan sangat rentan,” sambungnya.

Foto udara hutan krangas (foto: Bakri/Wartaetam.com)

Di sinilah pentingnya keberadaan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) seluas 58.743 hektare yang dikelola oleh PT Industrial Forest Plantation (IFP). Angka ini mencakup hampir 60 persen dari total konsesi IFP, luas yang jarang bahkan belum pernah ditemui di wilayah konsesi manapun.

“Saya berani katakan, ini KBKT terbesar di Indonesia dalam wilayah konsesi. Yang mendekati mungkin hanya Mayawana, sekitar 24 ribu hektare di Kalbar,” kata Yaya.

Hutan ini bukan sembarang hutan, tapi hutan terbaik di dalam konsesi IFP. Ia menyimpan jenis-jenis pepohonan tropis khas hutan kerangas Borneo, tempat hidup berbagai jenis satwa endemik dan tanaman liar yang belum seluruhnya teridentifikasi.

Di kawasan ini pula TRC Mangkutup, pusat pelatihan dan riset, berdiri sebagai poros kegiatan konservasi dan pengamatan langsung terhadap orangutan.

TRC Mangkutup merupakan hasil kolaborasi PT IFP, Ecositrop, dan Universitas Palangkaraya (UPR). Awal 2025, ketiga pihak menandatangani MoU kerja sama konservasi orangutan berbasis sains dan tata kelola lanskap hutan produksi berkelanjutan.

Populasi orang utan yang dipantau melalui camera trap, pengamatan sarang, dan alat bioakustik, tercatat berkisar antara 227 hingga 484 individu orangutan di kawasan ini.

“Jumlahnya kecil, tapi secara ekologis ini adalah populasi liar yang stabil, bagus dan terpantau,” ujar Yaya.

Orangutan memakan ratusan jenis buah hutan. Biji-biji yang mereka telan lalu dikeluarkan tetap bisa tumbuh. Mereka adalah penebar hutan sejati.

“Kalau ada biji buah lewat pencernaan orangutan, kemungkinan besar tumbuhnya lebih tinggi,” tambah Yaya.

Di antara pepohonan di tengah hutan, banyak bibit pohon yang bisa diambil dan ditanam di tempat lain. (foto: Bakri/Wartaetam.com)

Orangutan tak sekadar mirip manusia dalam rupa dan perilaku. Mereka makan apa yang aman bagi manusia, dan mengobati penyakit yang juga menyerang manusia, dengan tanaman hutan yang tak tercatat dalam farmasi modern.

Jika dipelajari serius, orangutan bisa jadi pemandu alamiah untuk pangan dan pengobatan masa depan. Kehilangan mereka berarti kehilangan pengetahuan yang tak bisa digantikan laboratorium mana pun.(Rofi Munawar/Warta Etam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *