Di Balik Lambatnya Populasi Orangutan: Ada ‘Etika Kawin’ yang Tak Tertulis

Dalam hutan tropis yang menjadi bagian dari kawasan produksi PT Industrial Forest Plantation (IFP), satu induk orang utan menggenggam erat bayinya. Ia baru melahirkan, dan selama dua tahun ke depan, ia akan menyusui tanpa gangguan.

Enam tahun setelahnya, ia masih terus mengasuh dan mengajarkan anaknya cara bertahan hidup di hutan. Hanya setelah semua itu selesai, ia baru siap untuk hamil kembali.

“Reproduksi orang utan sangat lambat. Sepanjang hidupnya, satu induk hanya bisa melahirkan maksimal lima anak,” kata Yaya Rayadin, peneliti dari Universitas Mulawarman dan pendiri lembaga konservasi Ecositrop.

“Mereka menyusui dua tahun, lalu membesarkan anak hingga mandiri selama empat hingga enam tahun. Dan selama itu, mereka tidak kawin. Ini seperti KB alami,” sambungnya.

Orang utan menjadi satu dari sedikit spesies yang menerapkan pola reproduksi jangka panjang secara naluriah. Hal ini membuat konservasi mereka sangat krusial: kehilangan satu individu berarti kehilangan satu generasi.

Tak seperti hewan liar lainnya yang bereproduksi cepat, orangutan sangat selektif dalam berkembang biak.

Yang menarik, bukan hanya pada betina. Para jantan pun menunjukkan pola etika sosial yang jarang terlihat pada dunia satwa. Jika melihat betina yang sedang menyusui atau membawa anak, pejantan tidak memaksa untuk kawin. Mereka menahan diri.

“Ini bukan dominasi khas dunia binatang. Pada orangutan, ada semacam etika sosial. Pejantan tahu waktu dan tahu batas. Bahkan pada manusia, tidak semua bisa begitu,” ujar Yaya.

Perilaku ini diamati di kawasan konservasi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) milik PT IFP seluas 58.743 hektare—menjadikannya kawasan konservasi terluas di dalam konsesi di Indonesia.

IFP hanya menggunakan sekitar 40% lahannya untuk produksi, dan menyisihkan hampir 60% untuk konservasi. Hutan terbaik, yang mengandung koridor satwa, sumber pakan alami, dan habitat orangutan, justru dilindungi secara aktif.

Di sinilah berdiri TRC (Training and Research Center) Mangkutup, basis riset dan konservasi hasil kolaborasi PT IFP, Ecositrop, dan Universitas Palangkaraya (UPR). Empat stasiun riset yang tersebar di kawasan ini secara aktif memantau populasi, perilaku, dan distribusi orang utan liar melalui camera trap, pengamatan langsung, survei sarang, hingga alat bioakustik.

Data terbaru mencatat sekitar 329 individu orang utan masih hidup di kawasan ini. Mereka berkembang secara alami, tanpa konflik dengan tanaman produksi—padahal IFP menanam pohon akasia, yang merupakan makanan favorit orang utan.

“Kalau mereka tidak melompat ke akasia, artinya hutan konservasinya cukup. Pangan dan habitatnya terjaga,” kata Yaya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *