SAMARINDA – Tidak semua persoalan pajak daerah bisa diselesaikan hanya dengan melihat alamat administrasi perusahaan. Di Kutai Barat, UPTD Pendapatan Wilayah (PPRD) justru dihadapkan pada persoalan yang lebih rumit: alat berat yang bekerja lintas provinsi, tetapi pajaknya hanya boleh dibayarkan di satu tempat.
Kasus ini mencuat dalam pembahasan Pajak Alat Berat (PAB) yang melibatkan kontraktor tambang PT Bharinto Ekatama (BEK). Perusahaan tersebut menjalankan aktivitas operasional di dua wilayah sekaligus, Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah. Situasi ini memunculkan kebingungan, baik di pihak perusahaan maupun pemerintah daerah, terkait di mana kewajiban pajak alat berat harus dipenuhi.
Kepala UPTD PPRD Wilayah Kutai Barat, Mulia Pardosi, menjelaskan bahwa dilema ini tidak bisa diselesaikan secara sepihak. Jika tidak ditangani hati-hati, potensi sengketa antarprovinsi hingga risiko pungutan ganda bisa terjadi.
“Perusahaan ini bekerja di dua provinsi. Kalau tidak diatur dengan jelas, bisa muncul dua klaim pajak. Itu yang kami hindari,” kata Mulia Pardosi.
Untuk mengurai persoalan tersebut, Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Kalimantan Timur mengambil langkah koordinatif dengan Bapenda Kalimantan Tengah. Perusahaan diminta bersikap terbuka dengan melaporkan seluruh data alat berat yang digunakan, termasuk lokasi operasionalnya.
“Solusinya, perusahaan melaporkan dulu seluruh data alat beratnya ke dua provinsi. Setelah itu, Bapenda Kaltim dan Kalteng akan berkoordinasi dan melakukan verifikasi,” ujar Pardosi.
Verifikasi ini menjadi krusial karena PAB hanya boleh dibayarkan di wilayah tempat alat berat tersebut secara dominan beroperasi. Jika dalam satu tahun alat berat lebih banyak bekerja di wilayah Kalimantan Timur, maka pajaknya menjadi hak Kaltim, termasuk Kutai Barat sebagai daerah operasional.
“Kalau sudah dibayar di Kaltim selama satu tahun berjalan, maka bukti pembayaran itu harus diterima oleh Kalteng. Tidak boleh ada pungutan ganda,” tegasnya.
Menurut Pardosi, mekanisme lintas provinsi ini memang belum banyak dipahami publik, tetapi semakin relevan seiring meningkatnya aktivitas pertambangan dan konstruksi yang tidak mengenal batas administrasi daerah. Di sisi lain, pemerintah daerah juga dituntut tetap mampu mengamankan potensi pendapatan tanpa melanggar prinsip keadilan bagi wajib pajak.
Ia menambahkan, persoalan PAB lintas wilayah turut menjadi salah satu penyebab rendahnya realisasi Pajak Alat Berat di Kutai Barat tahun ini. Dari target Rp8,5 miliar, realisasi masih jauh dari harapan. Namun, pemerintah daerah memilih jalan koordinasi ketimbang pendekatan represif.
“Kami tidak ingin mengejar target dengan cara yang keliru. Yang penting jelas dulu dasar hukumnya, jelas wilayahnya, baru bicara pembayaran,” ucap Pardosi.
Ke depan, UPTD PPRD Kutai Barat berharap koordinasi lintas provinsi ini dapat menjadi model penyelesaian bagi kasus serupa. Dengan kepastian hukum yang lebih kuat, pemerintah daerah optimistis potensi Pajak Alat Berat bisa digarap lebih maksimal tanpa memicu konflik, baik dengan perusahaan maupun antar pemerintah daerah. (SA)
