Duh! Burung Enggang Dimakan, Satwa Dilindungi Jadi Santapan

MAHAKAM ULU — Patroli monitoring oleh tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim di hutan Kecamatan Long Melaham, Kabupaten Mahakam Ulu, menemukan sesuatu yang mengejutkan. Indikasi perburuan satwa liar dan dilindungi kian menguat.

Bahkan lokasi temuan itu berada di titik yang berdekatan dengan jalur jelajah badak Kalimantan terakhir di alam bernama Pari. Padahal Pari merupakan satu-satunya individu badak yang hidup liar.

Tim survei menemukan sebuah pondok yang belum lama digunakan dan mendapati bulu-bulu burung rangkong atau burung enggang dalam sebutan warga lokal. Jejak satwa yang menjadi simbol Suku Dayak ini telah dikonsumsi sangat kuat.

Burung rangkong atau enggang adalah simbol sakral bagi suku Dayak, mewakili keberanian, kesetiaan, dan penghubung antara dunia manusia dengan alam spiritual. Di samping makna budayanya yang mendalam, masyarakat Dayak juga menyadari peran ekologis burung ini sebagai penebar benih alami yang penting bagi kelestarian hutan hujan Kalimantan. Menjaga kelestian rangkong sama artinya dengan menjaga warisan budaya dan ekosistem alam yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat adat.

Selain itu, tim survey juga menemukan tempurung kura-kura sungai, hingga tulang belulang kancil atau kijang. Temuan itu memperlihatkan satwa-satwa dilindungi kini menjadi korban perburuan konsumsi oleh sekelompok orang yang bermukim selama berminggu-minggu di dalam hutan.

Di lokasi yang sama, jerat ditemukan bersama tulang belulang yang diduga satwa kancil atau kijang. Jerat ini bekerja secara pasif yakni setelah dipasang, ia dapat menjerat satwa apa pun yang melintas. Dalam lanskap yang sama, satwa dilindungi memiliki risiko paling tinggi, terutama ketika populasi sudah berada pada titik minimal.

Kepala Resor Suaka Badak Kelian, BKSDA Kaltim, Jono Adiputro menjelaskan, timnya menemukan bekas serutan kayu. Menandakan aktivitas manusia usai mencari kayu gaharu.

“Ketika mereka masuk dalam hutan mencari gaharu itu membutuhkan waktu yang lama, ada sekitar 3–4 bulan di dalam hutan. Tentunya ketika di dalam hutan, selain membawa makanan awet seperti beras, mereka sambil juga mencari lauk-lauknya seperti menjerat, memancing, terus juga berburu satwa-satwa yang ada di situ,” kata Jono, Selasa (4/11/2025).

Lebih parah lagi, tim survei juga menemukan tulang belulang satwa sejenis kancil atau kijang. Di salah satu tulang ada ikatan jerat.

“Temuan itu sangat kuat mengindikasikan jika satwa ini mati karena terjerat sehingga tidak bisa mencari makan atau ke sumber air,” tambah Jono.

Selain temuan sisa satwa, pondok yang ditemukan hanya sekitar seratus meter dari kubangan aktif badak. Kebisingan, asap masak, serta aroma manusia dapat memaksa satwa besar seperti badak mengubah jalur jelajah dan meninggalkan ruang penting untuk kesehatan kulit serta parasit.

“Imbasnya di daerah wilayah tempat mereka mencari gaharu sekaligus berburu itu tadi, kehadiran badak Pari ini semakin berkurang,” lanjut Jono.

Ia menyebut jejak satwa besar itu mulai jarang terlihat di lokasi yang kini menjadi pusat aktivitas manusia. BKSDA Kaltim menelusuri rute masuk pencari gaharu yang diduga berasal dari wilayah Kalimantan Tengah melalui akses perusahaan. Pola mobilitas ini dinilai sporadis namun berulang.

“Kita mencoba untuk menelusuri rintisan atau bekas jejak tersebut memang arahnya adalah berasal dari Kalimantan Tengah. Kami indikasikan mereka adalah para pencari gaharu,” ujar Jono.

Koordinasi kemudian dilakukan dengan perusahaan pemegang akses agar peringatan larangan berburu dapat disampaikan kepada warga yang melintas.

“Dipersilakan kepada mereka untuk mencari gaharu, namun ketika mereka berburu itu perlu mungkin informasi kepada mereka bahwa itu dilarang,” tegasnya.

Burung rangkong, kura-kura sungai, serta sejumlah jenis kijang dan kancil termasuk dalam daftar satwa dilindungi di Indonesia. Payung hukumnya mencakup UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistemnya dan Permen LHK No. P.106/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Dilindungi. Penangkapan, membunuh, atau memperniagakan satwa dilindungi dapat dikenai hingga 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta.

Temuan jerat dan sisa satwa liar itu telah dilaporkan BKSDA Kaltim kepada Kementerian Kehutanan sebagai bagian dari pelaporan berkala ancaman di habitat badak Kalimantan. Laporan tersebut menjadi dasar peningkatan pengamanan ring luar habitat.

Gangguan Habitat Badak Terakhir

Gangguan perburuan di wilayah yang sama berdampak langsung pada perilaku badak. Ketika tekanan meningkat, badak akan menjauhi kawasan dengan tanda-tanda manusia, seperti senter malam, bau masakan, dan kebisingan. Jika Pari terus terdorong lebih jauh ke dalam hutan, rencana penjebakan (pit trap) untuk translokasi ke Suaka Badak Kelian awal 2026 berisiko gagal.

Kepala BKSDA Kaltim, Ari Wibawanto, menyebut pengamanan dilakukan hingga ring luar habitat. “Kita melakukan upaya pengamatan di sana sehingga ketika proses evakuasi bisa berjalan dengan lancar,” ujarnya.

Menurut Ari, sosialisasi juga menyasar sektor privat di sekitar lokasi, agar tekanan terhadap satwa dapat ditekan. Ia menyebut kerja sama lintas batas sangat diperlukan mengingat habitat berada di perbatasan provinsi.

“Kita meminta bantuan dari semua pihak untuk bersama-sama menjaga habitat badak Pari,” katanya.

Jono menambahkan, jerat yang dipasang hari ini bisa menunggu korban berbulan-bulan tanpa diketahui. Dalam lanskap dengan satu individu tersisa, durasi tersebut terlalu berbahaya.

Setiap bulu rangkong, setiap tempurung retak, dan setiap tulang kering adalah jejak senyap bahwa satwa dilindungi mulai hilang tanpa terpantau. Dan ketika satwa kecil runtuh dalam rantai pakan, satwa besar ikut mundur dari panggung.

Di lanskap yang sama, badak Pari berjalan sendirian dan setiap jerat yang tertinggal dapat mengubah nasibnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *