Nunukan – Kabut pagi di Dataran Tinggi Krayan bergerak pelan di antara perbukitan. Di balik dinginnya udara, suasana Sekolah Menengah Atas di Krayan tampak berbeda. Papan tulis yang biasanya berisi rumus dan catatan mata pelajaran kini menampilkan gambar ular, katak, dan kadal.
Hari itu, pengetahuan tentang reptil dan amfibi menjadi bahan pelajaran istimewa. Kegiatan tersebut adalah bagian dari Road to Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) 2025 yang rutin diperingati 10 Agustus 2025.
Resort Krayan, SPTN Wilayah I Long Bawan, Balai Taman Nasional Kayan Mentarang bekerja sama dengan Penggalang Herpetologi Indonesia (PHI) mengajak para siswa memahami peran herpetofauna dalam keseimbangan alam.
Kepala Balai Taman Nasional Kayan Mentarang, Seno Pramudito, menjelaskan, tema tahun ini
“Membangun Sinergi Antar Generasi untuk Masa Depan” dirancang untuk mengajak semua pihak terlibat, tanpa batas usia atau latar belakang.
“Upaya konservasi tidak bisa dilakukan secara parsial atau oleh satu generasi saja. Diperlukan kolaborasi lintas usia, lintas sektor, dan lintas pemikiran agar warisan alam ini tetap lestari untuk generasi yang akan datang,” kata Seno.
Bagi Seno, kegiatan ini lebih dari sekadar edukasi. Ia memandangnya sebagai jembatan yang menghubungkan semangat antara mereka yang telah lama berkecimpung di dunia konservasi dengan generasi baru yang akan melanjutkan perjuangan.
“Kegiatan ini menjadi ruang bersama bagi generasi muda dan senior untuk saling belajar, berbagi pengalaman, serta memperkuat komitmen menjaga alam. Kami percaya, ketika semangat konservasi mengalir dari satu generasi ke generasi berikutnya, masa depan bumi akan lebih terjaga,” paparnya.
Di dalam kelas, suasana hidup ketika tim PHI mengajukan pertanyaan. Anak-anak mengangkat tangan tinggi-tinggi, berebut kesempatan menjawab. Beberapa menirukan suara katak, yang lain mengingat nama ular yang pernah mereka lihat di ladang.
Ade Damara Gonggoli, peneliti herpetofauna yang turut hadir, melihat momen itu sebagai tanda bahwa konservasi dapat berakar sejak dini jika disampaikan dengan cara yang tepat.
“Hari Konservasi Alam Nasional bukan hanya sekadar peringatan, tapi panggilan aksi nyata, terlebih dalam menjaga kelompok satwa yang kerap terlupakan, seperti reptil dan amfibi,” katanya.
Ia mengungkapkan, peran herpetofauna sering kali tidak terlihat namun krusial.
“Di balik peran penting mereka dalam menjaga keseimbangan ekosistem, masih banyak yang belum memahami keberadaan dan urgensi perlindungannya. Pengetahuan ini tidak boleh berhenti di satu generasi saja. Perlu ada transfer ilmu, nilai, dan semangat dari para pegiat konservasi senior kepada generasi muda agar upaya pelestarian ini berkelanjutan,” ujar Ade menjelaskan dengan penuh semangat.
Bagi Ade, Road to HKAN adalah momentum langka yang mampu mengikat pelajar, guru, peneliti, dan pengelola kawasan konservasi dalam satu ruang belajar bersama.
“Melalui kegiatan ini, kami melihat tumbuhnya kesadaran lintas generasi, dari pelajar hingga profesional, untuk lebih peduli pada kelestarian reptil dan amfibi Indonesia. Ketika generasi muda diberdayakan dan diberi ruang untuk berkontribusi, masa depan konservasi herpetofauna akan jauh lebih cerah,” pungkasnya.
Saat sore tiba, kabut kembali turun. Anak-anak pulang membawa kertas berisi gambar satwa dan cerita baru tentang pentingnya menjaga alam. Mungkin mereka belum menyadari, namun dari ruang kelas sederhana itu, benih konservasi sudah tertanam. Hingga suatu hari, mereka yang kini belajar akan menjadi penjaga yang meneruskan warisan alam Krayan untuk dunia.