Perusahaan Ini Relakan Lebih dari Separuh Konsesinya Tetap Jadi Hutan

Kapuas, Kalimantan Tengah — Di tengah barisan ribuan tanaman akasia milik PT Industrial Forest Plantation (IFP), kehidupan liar masih bernapas. Di antara tajuk pohon yang ditanam untuk produksi kayu, orangutan Kalimantan masih bertahan, membangun sarang, dan melintas dari kanopi ke kanopi.

Hutan Tanaman Industri (HTI) selama ini sering menjadi momok dalam isu konservasi. Namun, sejak 2014, PT IFP mulai mengembangkan pendekatan berbeda yakni mengintegrasikan konservasi ke dalam wilayah produksinya melalui penetapan Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT) seluas lebih dari 58 ribu hektare.

“Ini bukan sekadar pelengkap dokumen izin. Ini kerja panjang berbasis data ilmiah dan kolaborasi,” ujar Yaya Rayadin, primatolog dan peneliti dari Ecositrop (Ecology and Conservation Center for Tropical Studies), yang selama satu dekade terakhir memimpin pemantauan populasi orangutan di kawasan tersebut.

Di kawasan ini, konservasi tidak dilakukan dengan cara tradisional. Metode ilmiah menjadi dasar pengambilan keputusan. Kamera trap, pengamatan sarang, pengukuran kanopi, hingga perangkat bioakustik digunakan untuk melacak aktivitas satwa liar.

Sarang orang utan (foto: Bakri/Wartaetam.com)

Tiga wilayah utama—Mangkutup, Gawing, dan Murui—menjadi fokus pemantauan. Hasil terbaru pada 2024 menunjukkan perkiraan populasi orangutan berkisar antara 227 hingga 484 individu. Angka itu dihitung dengan pendekatan statistik berdasarkan kepadatan sarang dan jarak efektif deteksi.

“Populasi ini masih cukup sehat, tapi sangat tergantung pada keberlangsungan habitatnya. Maka, kunci utamanya adalah memastikan koridor dan vegetasi tetap terhubung,” jelas Yaya.

Penerapan konservasi ini didukung payung hukum. Dua keputusan penting, yakni SK Menteri Kehutanan Nomor 664/MENHUT-II/2009 dan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8151 Tahun 2024, menjadi dasar pengelolaan. Dalam peraturan tersebut, disebutkan bahwa konservasi orangutan dilakukan sebagai bagian integral dari Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hutan (RKUPH).

PT IFP bahkan membentuk Training and Research Center (TRC) Mangkutup yang menjadi simpul koordinasi riset dan kegiatan konservasi. Dari pusat ini, empat stasiun riset (SR-A hingga SR-D) diakses secara berkala untuk pengambilan data dan pemantauan.

lahan gambut (foto: Bakri/Wartaetam.com)

Program konservasi ini juga melibatkan banyak pihak: Tropenbos Indonesia, BKSDA Kalimantan Tengah, Mutu International, serta pelibatan masyarakat lokal. Kajian sosial mapping hingga pelatihan Satgas Konservasi menjadi bagian dari upaya menyatukan perspektif produksi, sosial, dan ekologi.

Bagi Yaya Rayadin, model seperti ini layak direplikasi. “Bukan mustahil hutan tanaman industri menjadi bagian dari solusi konservasi, asal ada niat, data, dan kemauan kerja kolaboratif,” tegasnya. (Rofi Munawar/Warta Etam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *