Kisah Popi, Bayi Orang Utan yang Butuh Sembilan Tahun untuk Pulang ke Rumahnya

Kutai Timur — Di tepi Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat, suara engsel kandang pelan berderit. Pintu terbuka. Satu individu orang utan betina remaja bernama Popi menatap lekat hutan di depannya sebelum memanjat pohon pertama yang ia lihat. Dengan gerakan hati-hati tapi pasti, Popi meninggalkan manusia yang selama sembilan tahun merawatnya, menuju hutan yang menjadi rumah sejatinya.

Hari itu, Minggu, 10 Agustus 2025, menjadi babak baru dalam hidup Popi—satu individu orang utan Kalimantan (Pongo pygmaeus) yang diselamatkan ketika masih berusia sekitar satu bulan dan kini akhirnya bebas kembali ke alam.

Popi diselamatkan oleh tim Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur pada 22 September 2016 di Desa Sempayau, Sangkulirang. Saat ditemukan, tubuhnya kecil, tali pusarnya masih basah, giginya belum tumbuh, dan napasnya berat akibat gangguan pernapasan. Ia diperkirakan baru berusia satu bulan, usia ketika bayi orang utan seharusnya masih hangat dalam pelukan induknya.

Tim BKSDA kemudian menyerahkan bayi mungil itu ke pusat rehabilitasi Bornean Orangutan Rescue Alliance (BORA). Di sana, Popi menjalani masa karantina, kemudian tumbuh di playground bayi orang utan. Di usia 11 bulan, ia mulai belajar di sekolah hutan di KHDTK Labanan, Berau.

Menurut Kepala BKSDA Kaltim, Ari Wibawanto, Popi menjalani proses panjang untuk mengembalikan naluri liarnya.

“Rehabilitasi bukan sekadar memulihkan kesehatan fisik, tapi juga mental dan perilaku. Popi menunjukkan bahwa ia sudah mampu hidup mandiri, memanjat, mencari makan, dan membuat sarang. Itu syarat utama sebelum dilepasliarkan,” ujarnya, Kamis (9/10/2025).

Sembilan tahun lamanya Popi belajar langsung dari hutan. Ia menirukan perilaku alami, mengenali buah-buahan liar, dan membangun kepercayaan diri untuk bertahan tanpa campur tangan manusia. Setelah dinyatakan siap, Popi dipindahkan ke pulau pra-pelepasliaran di Pulau Bawan, Kampung Merasa, Berau. Di sana, selama tiga bulan (April–Juli 2025), ia beradaptasi dengan kondisi semi-liar, tanpa banyak kontak manusia.

Kembali ke Alam: Hari Kebebasan Popi

foto : Doc COP

Pelepasliaran Popi dilakukan bertepatan dengan Hari Konservasi Alam Nasional, 10 Agustus 2025, di Hutan Lindung Gunung Batu Mesangat, Kutai Timur. Kegiatan ini hasil kolaborasi Kementerian Kehutanan, BKSDA Kaltim, Dinas Kehutanan Provinsi Kaltim, KPHP Kelinjau, dan Centre for Orangutan Protection (COP).

Menurut Ari, pelepasliaran Popi menegaskan komitmen negara dalam upaya konservasi satwa dilindungi. “Setiap individu yang dilepas adalah hasil kerja panjang dan kolaboratif. Tidak semua orang utan bisa kembali ke alam. Tapi ketika mereka siap, kami pastikan habitatnya juga siap menerima,” katanya.

Pasca pelepasliaran, tim APE Guardian COP melakukan pemantauan intensif terhadap Popi selama tiga bulan. Menurut Wahyuni, Manajer Komunikasi COP, dua hari pertama Popi masih bertahan di sekitar titik rilis. Namun pada hari ketiga, ia menunjukkan naluri liarnya: menyeberangi sungai lewat kanopi pepohonan dan bertemu Bonti, individu orang utan betina lain yang dilepas awal tahun.

“Popi sempat menghilang beberapa hari dan muncul lagi di minggu ketiga Agustus. Terakhir terlihat di pohon dekat sungai, tubuhnya tampak sehat, dan gerakannya lincah. Setelah itu, kami tidak lagi menemukannya. Tapi tanda-tanda yang kami lihat menunjukkan ia berhasil beradaptasi,” jelas Wahyuni.

Tim monitoring mencatat Popi sudah memanfaatkan sumber pakan alami seperti daun muda, bunga, kulit liana, dan buah-buahan hutan, termasuk balangkasua (Lepisanthes alata) dan sengkuang (Dracontomelon dao). Keberagaman pakan ini penting bagi keberhasilan adaptasinya di alam liar.

Wahyuni mengenang Popi sebagai individu yang unik. “Ia dulu sangat manja. Nilai rapor sekolah hutannya naik turun, kadang seharian bermain dengan keeper, kadang seharian di atas pohon tanpa peduli siapa pun. Tapi kami belajar bahwa setiap individu punya cara sendiri untuk tumbuh,” katanya.

Ia menambahkan, kekhawatiran bahwa Popi akan kembali mendekati manusia setelah dilepas justru tidak terbukti. “Begitu pintu kandang dibuka, ia langsung menjauh, memanjat pohon, dan menghilang ke dalam hutan. Itu bukti bahwa naluri liarnya tak pernah padam,” tutur Wahyuni.

Baginya, Popi adalah simbol kesabaran dan harapan dalam konservasi orang utan. “Dari bayi rapuh menjadi petualang hutan, Popi membuktikan bahwa proses panjang, kerja kolaboratif, dan kasih sayang tak pernah sia-sia. Selamat berpetualang di hutan sesungguhnya, Popi,” ucapnya.

Kisah yang Tak Pernah Selesai

foto : Doc COP

Keberhasilan Popi bukanlah akhir cerita, melainkan bab baru dalam perjalanan panjang rehabilitasi satwa liar di Indonesia. Menurut Ari Wibawanto, setiap pelepasliaran adalah bukti bahwa upaya penyelamatan satwa membutuhkan waktu, ilmu, dan komitmen yang tak sebentar.

“Tidak semua orang utan bisa langsung dilepas di usia yang sama. Ada yang butuh tujuh tahun, ada yang lebih dari sepuluh. Yang penting, mereka benar-benar siap. Alam adalah ujian terakhir mereka,” kata Ari.

Kini, Popi menjadi bagian dari hutan yang dulu merebut masa kecilnya. Dari bayi mungil yang kehilangan induk, ia tumbuh menjadi individu mandiri yang kembali ke pangkuan alam. Sebuah kisah tentang kesabaran manusia, dan kebijaksanaan hutan yang tak pernah menolak anak-anaknya pulang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *