Pulau Maratua, bagian dari Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, kini menjadi sorotan sebagai model ekowisata berbasis komunitas yang sukses. Dengan pesona alam seperti Goa Kabok dan Danau Haji Buang, pulau ini menggabungkan potensi pariwisata dengan pelestarian lingkungan, serta menjadikan warga lokal sebagai pelaku utama.
Goa Kabok, gua karst yang terletak di Kampung Teluk Harapan, menyajikan pemandangan stalaktit dan stalagmit alami yang diterangi cahaya matahari dari celah atap gua, menciptakan efek dramatis yang memukau. “Kami sedang membangun fasilitas seperti jembatan ulin untuk memudahkan akses,” ujar Wira Hadikusuma, Direktur BUMK Lumba-lumba.
Sementara itu, Danau Haji Buang di Kampung Payung-payung menyuguhkan pengalaman unik berenang bersama ubur-ubur tak menyengat, dalam suasana hutan tropis yang tenang dan mistis. “Danau ini belum setenar Kakaban, tapi keunikannya tak kalah,” kata Sujono, penjaga danau.
Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) memainkan peran penting dalam transformasi ini melalui pendampingan komunitas sejak 2021 lewat Program SIGAP (Aksi Inspiratif Warga untuk Perubahan). Program ini mendorong partisipasi aktif warga dalam perlindungan lingkungan dan penguatan ekonomi.
Andi Trinawati, Koordinator Program Ekonomi Biru YKAN, menuturkan bahwa pendekatan ekowisata dilakukan melalui penguatan kapasitas dan produk komunitas. “Kami mendampingi Pokdarwis, memperkuat pengelolaan ekowisata dan produk turunannya dengan penerapan SOP yang bertujuan menjaga alam Maratua secara bijak,” jelasnya.
Menurutnya, posisi strategis Maratua di subkawasan Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion menjadikannya aset penting global. “Sebanyak 76 persen keanekaragaman laut, termasuk terumbu karang dan biota, berada di wilayah ini. Maratua adalah lumbung pangan laut dunia. Karena itu pendekatan Ekonomi Biru penting agar masyarakat dapat mengelola sumber daya secara berkelanjutan,” tambahnya.
Andi juga menyoroti pentingnya keterlibatan kelompok perempuan dan UMKM dalam diversifikasi produk hasil laut. “Mereka sudah lama mengelola hasil laut dengan alat tangkap ramah lingkungan. Konsistensi mereka adalah modal sosial penting,” katanya.
Maratua juga menghadapi berbagai tantangan. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan (2024) mencatat bahwa 50% terumbu karang di wilayah Sulu-Sulawesi mengalami kerusakan akibat praktik penangkapan ikan destruktif. Untuk mengatasi hal ini, masyarakat Maratua bersama Pokdarwis dan kelompok Maratua Peduli Lingkungan (MPL) melakukan transplantasi karang dan menanam 1.000 mangrove pada 2024. Target mereka adalah menanam 5.000–6.000 pohon mangrove pada 2025.
Andi menyebut bahwa MPL menjadi mitra penting karena fokus pada perlindungan laut dan dikomandoi langsung oleh kepala kampung. “Mereka adalah ujung tombak ekowisata berkelanjutan. Dukungan kecil namun konsisten sangat berdampak pada pelestarian,” ujarnya.
Ketua Pokdarwis Payung-payung, Adriansyah, menegaskan bahwa prinsip 3E (Ekonomi, Ekologi, Edukasi) menjadi panduan utama dalam pengembangan pariwisata. “Kami mengajarkan anak-anak SD pentingnya menjaga alam sejak dini,” katanya.
Pendekatan Sapta Pesona—aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan—juga diterapkan demi menciptakan pengalaman wisata yang positif dan berkelanjutan. Dengan kolaborasi antara pemerintah daerah, komunitas, dan pendampingan YKAN, Maratua menjadi bukti bahwa pelestarian lingkungan dapat berjalan selaras dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.