Orang Utan Morio Melawan Kepunahan, Terdesak Perusakan Habitat

Di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, jalan poros Bengalon-Muara Wahau tak pernah sepi dari deru mesin. Tambang batu bara menggerogoti alam di kanan dan kiri, menyisakan pepohonan yang kini hanya jadi penutup tipis bagi kehancuran di belakangnya. Jalur ini, yang oleh warga disebut Perdau, menghubungkan Kutai Timur dengan Berau, bahkan hingga Kalimantan Utara. 

Menjelang Ramadan 2025, tim Wartaetam.com menyusuri jalur itu. Tiba-tiba, sebuah pohon bergoyang tanpa angin. Dari balik daun, muncul orang utan betina menggendong anaknya. Ia bergerak cepat, melompat antar dahan, menjauh dari kami. Jaraknya dari jalan hanya lima meter—terlalu dekat untuk satwa yang seharusnya hidup jauh di dalam hutan. 

Kebisingan truk dan mesin tambang tak menghentikan mereka mencari makan. Orang utan ini, yang secara ilmiah disebut Pongo pygmaeus morio, tampak tak lagi peduli pada dunia yang mencaplok habitatnya. Kami datang karena cerita mereka viral: primata ini kerap tertangkap kamera di tambang, kebun sawit, bahkan pemukiman. 

“Kita ingin tahu, apa benar Perdau jadi tempat terakhir mereka bertahan?” kata Bakri, jurnalis televisi nasional yang ikut bersama Wartaetam.com. Tak lama setelah pertemuan pertama, kami berjalan menyusuri tepi jalan. Hanya 20 meter dari situ, satu individu lain muncul, berayun di dahan. Sore itu, tiga orang utan dan banyak sarang terlihat—tanda bahwa mereka masih ada, meski terjepit. 

“Lewat sini pagi atau sore, pasti ketemu,” ujar Ahmad, pedagang bakso yang berhenti sejenak melihat kami memotret. Ia bilang, siang pun kadang beruntung. Kami pun menjelajah selama empat hari, dari Simpang Perdau hingga dekat Muara Wahau, dan hampir selalu menemukan jejak mereka. 

Februari lalu, pada 5 Februari 2025, video orang utan di kawasan tambang dekat Simpang Perdau menyebar luas. Saat kami coba ke sana, akses ditutup perusahaan. Jalan tua yang dulu ada kini hilang, digantikan lubang tambang yang terus meluas. 

Bagi warga, orang utan adalah pemandangan biasa. “Dari dulu mereka di sini, seperti tetangga,” kata Lina, pemilik warung di Simpang Perdau. Warga tak mengusik: jika mereka makan pucuk sawit atau menyeberang, manusia mengalah. “Tapi kasihan, makanannya susah sekarang,” tambahnya, sambil menunjuk suara tambang di belakang warungnya. 

Ia ingat ada yang sampai meminta makan di pinggir jalan, sebelum akhirnya dipindahkan petugas BKSDA Kaltim. Kementerian Kehutanan menyebut ini “interaksi negatif”—bukan konflik langsung dengan warga, tapi akibat hutan yang lenyap. Sarang mereka mudah ditemui, cukup lihat pohon sawit yang pucuknya raib. 

Kapolres Kutai Timur, AKBP Chandra Hermawan, bilang tak ada laporan kekerasan terhadap orang utan. “Tujuh bulan saya di sini, belum pernah dengar warga mengganggu,” ujarnya. Polisi rutin patroli di titik rawan. 

“Kalau ada pelanggaran, kami tegas. Ini soal satwa dilindungi, perhatian dunia,” katanya. Kesadaran warga dan pengawasan polisi membuat Perdau relatif aman bagi primata ini, setidaknya dari ancaman manusia. 

Muhammad Rusli, Ketua RT 2 Desa Sepaso Barat, melihat sendiri hutan menyusut. “Kiri sawit, kanan tambang. Pepohonan tinggal di pinggir jalan,” katanya. Orang utan kini masuk kampung, tak takut lagi pada manusia. “Mungkin lapar, makanya berani,” ujarnya. 

Ia ingat dulu mereka jarang terlihat, tersembunyi di hutan lebat. Kini, terjepit antara tambang dan sawit, mereka tak punya pilihan. “Diusir dari sini, diusir dari sana, mau ke mana?” tanyanya. 

Bukan cuma orang utan. Monyet dan beruk juga terlihat kurus. “Perutnya kempes, kasihan. Kayak minta makan,” kata Rusli. Warga tahu hutan habis, tapi tak bisa berbuat apa-apa. “Dulu jarang kelihatan. Sekarang ke kampung atau tambang, kalau enggak, mereka mati kelaparan,” tambahnya prihatin. Ia dukung penyelamatan, melihat mereka makin kurus dan tersudut.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *