Yuk, Belajar Budaya Orang Utan di TRC Mangkutup

Kapuas, Kalimantan Tengah – Hutan produksi di konsesi PT Industrial Forest Plantation (IFP) menyimpan kekayaan yang tak banyak diketahui publik. Dari total 101 ribu hektare lahan, lebih dari separuhnya—tepatnya 58.743 hektare—ditetapkan sebagai Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT), menjadikannya salah satu kawasan konservasi terluas di dalam konsesi di Indonesia.

Di sinilah ratusan orang utan liar hidup berdampingan dengan pohon-pohon produksi, tanpa konflik.

“Orangutan di sini tidak pernah merusak tanaman produksi, padahal kami menanam akasia, dan itu makanan favorit mereka,” kata Yaya Rayadin, peneliti orang utan dari Universitas Mulawarman.

“Itu pertanda bahwa habitat mereka baik, pangannya cukup, dan mereka merasa aman,” sambung pendiri Ecostrop (Ecology and Conservation Center for Tropical Studies) ini.

Keseimbangan ini bukan terjadi kebetulan. Melalui kerja sama PT IFP, Ecositrop, dan Universitas Palangkaraya, TRC Mangkutup dibangun sebagai pusat riset dan konservasi, lengkap dengan akses ke empat stasiun penelitian aktif. Di dalamnya, para ilmuwan mengamati lebih dari sekadar perilaku hewan liar. Mereka sedang mempelajari bentuk awal peradaban: budaya orang utan.

TRC Mangkutup (foto: Bakri/Wartaetam.com)

Orang utan bukan satwa biasa. Dengan kemiripan genetik mencapai 96 persen dengan manusia, mereka menunjukkan pola hidup yang jauh melampaui naluri satwa biasa. Para peneliti tak lagi menyebutnya sekadar animal behavior, tapi sudah masuk ranah orang utan culture alias budaya.

“Budaya itu bukan cuma soal makan, tapi cara mereka hidup dan belajar,” kata Yaya.

Setiap spesies orang utan, baik Sumatera maupun Kalimantan, punya perilaku berbeda. Inilah yang tak hanya membedakan, tapi membangun keunikan masing-masing spesies.

“Misalnya, orang utan Sumatera membuat bantalan daun saat bersarang, atau menaruh semacam atap dari ranting untuk menghindari hujan. Di Kalimantan tidak. Itu perbedaan budaya, bukan perilaku naluriah,” papar Yaya.

Budaya ini diwariskan dari induk ke anak secara langsung. Setelah melahirkan, induk orang utan menyusui selama dua tahun, lalu mendidik anaknya selama empat hingga enam tahun. Selama masa itu, induk tidak kawin lagi, dan sang anak terus menempel, menyerap pelajaran hidup dari satu-satunya guru yang ia punya.

Pelajaran itu mencakup cara membuat sarang, mengenali ratusan jenis buah dan tanaman obat, hingga bagaimana bertahan hidup saat sakit.

“Kalau masuk angin, mereka tahu daun mana yang harus dimakan. Kalau demam, mereka pilih daun lain. Dan semua itu mereka pelajari dari ibunya. Itu bukan insting, tapi hasil pendidikan,” ujar Yaya.

Yang lebih menarik, orangutan juga menunjukkan norma sosial. Pejantan tidak memaksa kawin jika melihat betina sedang membawa anak. Tak ada perebutan paksa. Tak ada dominasi kekerasan.

“Ada etika. Itu sulit ditemukan pada satwa lain. Bahkan pada manusia, tidak selalu begitu,” kata Yaya

Konsep budaya pada orang utan bukan lagi dugaan. Ia didukung oleh pengamatan puluhan tahun dari para peneliti, termasuk dalam ekosistem TRC Mangkutup. Dengan populasi sekitar 300 hingga 400 individu yang tersebar di berbagai subkawasan KBKT, orang utan di hutan produksi ini justru hidup lebih stabil dibanding banyak wilayah konservasi resmi lainnya.

Namun, semua itu rapuh. Kehilangan satu induk, berarti kehilangan satu sekolah kehidupan. Dan jika habitat ini terganggu, seluruh sistem pendidikan alami itu pun akan runtuh.

Kantong Semar (foto: Bakri/Wartaetam.com)

Di sinilah pentingnya kawasan konservasi seperti yang dilakukan IFP: memberikan ruang hidup, bukan kandang; menyediakan habitat, bukan sekadar suaka.

“Ini bukan sisa lahan yang tidak terpakai. Ini hutan terbaik yang sengaja dilindungi. Di sinilah budaya orang utan bertahan,” katanya. (Rofi Munawar/Warta Etam)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *